POSISI PETANI MAKIN KUAT

Kabupaten Banyumas

KOMPAS, 16 Agustus 2007
Bayang krisis ekonomi kini mulai berlalu. Di sektor perkebunan, krisis ekonomi dan reformasi
politik ternyata membawa hikmah. Pada usaha tani tebu dan gula, posisi petani boleh dibilang
semakin kuat seiring dengan berubahnya sistem kelembagaan.
"Begitu reformasi terjadi, hubungan kelembagaan antara petani dan pabrik gula (PG), yang semula
eksploitatif terhadap petani, kini berubah", kata Ahmad Erani Yustika, pengajar Ekonomi
Kelembagaan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang.
pada banyak kawasan industri gula muncul organisasi baru yang bernama Asosiasi Petani Tebu
Rakyat (APTR).Prestasi APTR terpenting adalah kemampuan membangun negosiasi lewat aksiaksi
massanya pada awal reformasi. Misalnya menghadang secara fisik truk-truk impor bersama
massa petani, melakukan upaya negosiasi untuk menghentikan, atau mengubah jadwal masuknya
gula impor. Atau paling tidak, APTR mendesak Gubernur jawa Timur Imam utomo agar impor gula
hanya dibolehkan jika PG selesai giling.
Aksi APTR mampu mengubah sama sekali pola hubungan petani dan PG menjadi lebih
berkeadilan. Petani memiliki kemampuan negoisasi. Ini mustahil terjadi pada zaman dulu di masa
Orde Baru, saat petani tidak berdaya menghadapi rezim tebu rakyat intesifikasi (TRI) yang
memaksa petani menyerahkan lahn untuk ditanami tebu.
Petani juga tidak berdaya menghadapi rantai kekuasaan lembaga Koperasi Unit Desa (KUD) yang
memonopoli bisnis pedesaan, bekerjasama dengan pabrik gula yang berkuasa atas rendemen
tebu.
Kini melalui APTR, petani bisa bernegoisasi, dengan meminta gula miliknya setelah dipotong gula
PG sebagai jasa giling. Petani kemudian menjual sendiri lewat sistem lelang.
Namun, bernarkah telah terjadi perubahan kelembagaan yang lebih adil pada era sekarang? Erani,
yang diserasinya meneliti tentang ekonomi biaya transaksi pada sejumlah PG di Jawa Timur,
mengungkapkan para petani anggota APTR mengklasifikasikan kategorisasi petani tebu menurut 3
kelompok, yakni petani tebu "akar" yang langsung menanam tebu, petani "batang" yang
menanamtebu sedikit-sedikit, dan petani "daun" yang lebih mirip disebut pedagang tebu atau gula.
Pada kenyataannya, masalah yang melilit "petani akar" belum terpecahkan. Mereka tetap dililit
masalah kelangkaan dan mahalnya harga pupuk, sulitnya air, hingga rusaknya infrastruktur irigasi.
Persoalan inilah yang masih harus lebih diperjuangkan secara optimal oeh APTR.
Sawit Naik Daun
Selain gula dan tebu, komoditas sawit dalam beberapa tahun terakhir ini juga sedang naik daun.
Pada tahun 2006, misalnya, dari 16 juta ton produksi minyak sawit mentah Indonesia, sedikitnya
11,5 juta ton diekspor. Indonesia hilir dalam negeri hanya menyerap sekitar 4 juta ton. Tahun 2007,
pemerintah bertekad mendorong pertumbuhan industri hilir agar sektor minyak sawit nasional
memiliki nilai tambah. Bahkan, dari 10 industri prioritas untuk tahun 2007, salah satunya adalah
minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Ada dua pilihan yang disampaikan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri hilir
nasional, yakni menaikkan pungutan ekspor (PE) yang selama ini sebesar 1,5 persen atau
menetapkan kuota ekspor agar tersedia CPO yang cukup untuk bahan baku industri hilir dalam
negeri.
"Pemerintah harus berhitung cermat sebelum memutuskan menaikkan PE atau menetapkan kuota
ekspor. Jika terjadi, harga CPO dalam negeri akan anjlok dan menyeret harga pembelian TBS
(tanda buah segar) petani. Tentu pemerintah tidak ingin merugikan petani", ungkap Ketua Harian
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Derom Bangun.
Selain petani dan eksportir CPO, kalangan importir indonesia juga mulai berhitung. Importir India
kini mulai mempertanyakan rencana pemerintah menerapkan kebijakan tersebut.
India adalah salah satu pasar ekspor CPO terbesar Indonesia dengan volume sebanyak 2 juta-3
juta. Tahun 2006, Indonesia mengekspor11,3 juta ton minyak sawit yang menguasai 37 persen
pasar internasional.
Malaysia sampai saat ini menguasai 42 % pasar Internasional. Dari produksi 14,7 juta ton,
malaysia mengespor sekitar 13,5 juta ton pada tahun 2006.
Jadi, peluang di sektor sawit masih terbuka lebar. Tinggal bagaimana pemerintah melakukan
regulasi yang menarik minat investor sekaligus menguntungkan petani. (ODY/THY/HAM)


19 06 2012 14:56:20