Calon Perseorangan (2-habis) Membatasi Revisi Terbatas UU No 32/2004

Kabupaten Banyumas

KOMPAS, 29 Agustus 2007
Sidik Pramono
Kesempatan majunya calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah sudah terbuka. Namun,
masih butuh waktu agar kesempatan itu benar-benar terealisasi. DPR dan pemerintah, selaku
pembuat undang-undang, telah bersepakat untuk melakukan revisi terbatas atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
DPR dan pemerintah menghadapi dua pembatas dalam melakukan revisi itu: substansi dan juga
waktu.
Materi penting menyangkut substansi revisi adalah soal syarat dukungan minimal bagi seseorang
agar bisa ditetapkan sebagai calon kepala daerah dari jalur perseorangan. Berbagai pihak
mengusulkan beragam angka dengan argumentasinya masing-masing.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebutkan, syarat jumlah dukungan bagi calon
perseorangan tidak boleh lebih berat daripada syarat parpol.
Juga dirujuk ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
yang menyebutkan, calon perseorangan mesti mengumpulkan dukungan minimal 3 persen dari
jumlah penduduk.
Beragam pendapat soal besaran dukungan tersebut muncul dari berbagai kelompok. Mereka yang
mendorong majunya calon perseorangan ngotot agar syarat dukungan bagi calon perseorangan itu
dipatok sekecil mungkin.
Alasannya, tidak selayaknya parpol selaku perumus undang-undang mencantumkan syarat
dukungan yang berat bagi calon perseorangan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah
(pilkada).
Terakhir, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita saat berpidato di Sidang Paripurna Khusus DPD, 23
Agustus lalu, menyebutkan, syarat dukungan calon perseorangan cukup 3 persen dari jumlah
pemilih yang sah dalam pemilu lalu. Persentase itu bisa diturunkan untuk daerah padat ataupun
daerah yang sangat luas dan terpencil.
Sebagian besar parpol sebaliknya menginginkan ada "kesepadanan" persyaratan. Mengutip
anggota DPR, Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat II), penentuan syarat
dukungan bagi calon perseorangan tidak boleh didasari pemikiran keliru, yang menyebutkan
seolah-olah parpol tidak melampaui tahapan berat untuk bisa memenuhi syarat mengajukan calon
kepala daerah.
Untuk bisa mencapai 15 persen suara sah, kata Ferry, sebuah parpol harus melalui tahapan
pendirian parpol, pemenuhan syarat sebagai badan hukum, sebagai peserta pemilu, dan juga
kompetisi memperebutkan suara pemilih dalam pemilu.
Soal perbandingan instrumen pendukung, Ferry juga menyebutkan bahwa calon dari jalur
perseorangan jangan hanya dimaknakan sebagai keinginan personal. Jika bukan sekadar hasrat
orang per orang, setiap calon perseorangan tentu memiliki kelompok pendukung yang bisa bekerja
membantunya.
Tak lebih dari 3 persen
Pengajar Universitas Indonesia (UI), Andrinof A Chaniago, menunjukkan pengalaman di Amerika
Serikat, di mana hak perorangan maju sebagai calon gubernur negara bagian (state) sudah lama
diterapkan.
Pada daerah yang menggunakan ukuran persentase, tidak ditemukan di satu negara bagian pun
persyaratan dukungan suara melebihi dari 3 persen bagi mereka yang mau maju menjadi calon
gubernur.
Sementara untuk daerah yang menggunakan angka absolut, jumlah dukungan disyaratkan antara
5.000 hingga 40.000 suara—sekalipun syarat dukungan lebih dari 35.000 pun amat jarang.
Di Maryland, syarat dukungan tanda tangan untuk seorang calon independen adalah 27.000. Di
Illinois, 25.000 tanda tangan pendukung; Virginia cukup 10.000 orang; sementara di Ohio
sebanyak 1 persen dari total suara pemilih terdaftar—setara dengan 32.000-an penanda tangan.
Mengutip pengajar UI lainnya, Arbi Sanit, perdebatan soal besar dukungan minimal bagi calon
perseorangan, baik kubu yang meminta syarat disamakan dengan parpol maupun yang meminta
lebih ringan, bisa dilihat dari dua sisi.
Kubu yang meminta persyaratan ringan bersandar pada argumen bahwa hak setiap warga negara
tidak boleh dibatasi.
Namun, jika mengacu pada tanggung jawab kepala daerah yang setara tanpa melihat latar
belakang dari parpol atau perseorangan, wajar juga jika ada yang meminta keseimbangan
persyaratan calon itu.
Untuk mudahnya, di tengah perdebatan antara 3 persen atau 15 persen, Arbi mengusulkan angka
itu dirata-ratakan saja, yaitu 9 persen.
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto mengingatkan,
perdebatan seputar dukungan bagi calon perseorangan itu diwarnai kerancuan. Kerancuan
pertama yang harus diselesaikan adalah soal acuan dukungan, antara jumlah penduduk atau
jumlah pemilih.
Dukungan 3 persen jumlah penduduk, sebagaimana yang diberlakukan untuk sekali pilkada di
Aceh, tidak identik dengan 3 persen jumlah pemilih. Dengan asumsi bahwa jumlah pemilih ratarata
70 persen jumlah penduduk, maka dukungan 3 persen penduduk setara dengan 4,2 persen
jumlah pemilih.
Secara teknis, opsi ini tentunya mensyaratkan data kependudukan yang rapi. Sayangnya, data
kependudukan selalu menjadi permasalahan laten dalam sejumlah pilkada pada masa lalu.
Kendala waktu
Pembatas lain revisi terbatas UU No 32/2004 ini adalah soal waktu. DPR dan pemerintah, sebagai
pembuat undang-undang, sudah bersepakat bahwa revisi terbatas mesti rampung paling lambat
akhir 2007. Target berikutnya, seluruh perangkat hukum peraturan pelaksanaan segera rampung
sehingga bisa diimplementasikan dalam pilkada mulai awal 2008.
Saat rapat paripurna pembukaan masa persidangan DPR tahun sidang 2007-2008, Kamis (16/8),
telah dibacakan adanya rancangan undang-undang (RUU) usul inisiatif 40 anggota DPR mengenai
perubahan UU No 32/2004.
Sesuai prosedur, naskah RUU tersebut diteruskan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk
harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsinya. Ketua Baleg DPR FX Soekarno (Fraksi
Partai Demokrat, Jawa Tengah IV) menyebutkan, karena draf awal dipersiapkan staf ahli Baleg,
diperkirakan proses di Baleg pun tidak akan makan waktu lama. Perhitungan awal, harmonisasi
bisa rampung pada masa persidangan saat ini.
Berikutnya, naskah usul RUU tersebut disampaikan ke rapat paripurna untuk diputuskan apakah
usul tersebut dapat diterima menjadi RUU usul DPR atau tidak. Keputusan diambil setelah fraksifraksi
memberikan pendapatnya.
Ada tiga pilihan keputusan, yaitu persetujuan tanpa perubahan; persetujuan dengan perubahan;
atau penolakan.
Tahapan akan lebih panjang jika rapat paripurna akhirnya menyetujui dengan perubahan, di mana
naskah usul RUU tersebut akan dibawa lagi ke alat kelengkapan DPR, seperti komisi atau panitia
khusus (pansus), untuk disempurnakan.
Perdebatan sengit bisa terjadi pada tahapan ini dan waktu yang dibutuhkannya pun menjadi relatif
lebih panjang.
Apa pun, harus dipahami bahwa revisi atas UU No 32/2004 benar-benar terbatas. Jika terbatas
soal substansi, tentu harus dipahami bahwa waktu yang tersedia pun terbatas.
Harus diingat bahwa saat ini sudah banyak yang tidak sabar untuk mencalonkan diri lewat jalur
perseorangan....


19 06 2012 14:56:03