Kegamangan Otonomi Daerah

Kabupaten Banyumas

KOMPAS, 16 Agustus 2007
Oleh Agus Hermawan
Di tengah krisis multidimensi yang mendera sejak 1997, pada tahun 2001 pemerintah
memberlakukan otonomi daerah. Ide utama otonomi daerah menurut arsiteknya, Ryaas Rasyid,
daerah harus kreatif dalam menangani sumber daya yang dimilikinya. Dengan kreativitas, Ryaas
pernah mengemukakan, daerah kering seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur bukan tidak mungkin
akan mengungguli Provinsi Riau. Secara tidak langsung, otonomi daerah bisa menjadi salah satu
alat mengatasi krisis.
Namun, selama tujuh tahun terakhir, otonomi daerah ternyata hanya menghasilkan elitisme.
Otonomi daerah gagal membangun akuntabilitas keterwakilan dan mandatnya, baik dalam
hubungan pusat daerah maupun pengelolaan daerah. Terjadi perubahan konteks, tetapi ada
kesinambungan perilaku. Ada perubahan prosedural, tetapi terjadi kesinambungan substansi. Ada
perubahan rezim, tetapi terjadi kesinambungan elite.
Ide-ide desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya bukan hal baru karena sudah pernah
muncul di era kolonialisme hingga awal kemerdekaan. Namun, sekarang hampir semua kalangan
mengatakan, desentralisasi dan otonomi daerah baru muncul 2001. Akibatnya, pemerintah pusat
maupun daerah sama-sama belum siap untuk berdesentralisasi dan berotonomi daerah.
Pemerintah pusat belum siap melepas kewenangannya di daerah, sementara pemerintah daerah
belum bisa melaksanakan kewenangan luas yang diberikan kepadanya. Kita terjebak dalam
"otonomi setengah hati" dan (sebaliknya) "otonomi kebablasan".
Kini, DPRD berlebihan dalam melakukan pengawasan, sedangkan pemerintah daerah
memobilisasi pendapatan asli daerah (PAD) secara berlebihan. Terjadilah fenomena "otonomi
kebablasan" yang menjadi perangkap untuk melakukan reformasi. Hal itu terjadi ketika Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 direvisi menjadi UU No 32/2004, dan UU No 25/1999 direvisi
menjadi UU No 33/2004.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU No 22/1999 itu semula diharapkan
mampu antara lain mewujudkan suatu tatanan sistem pemerintahan daerah yang lebih demokratis,
mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, serta meningkatkan kapasitas
publik.
Namun, realitasnya lain. Itu terjadi karena perilaku para elite penyelenggara pemerintahan daerah
masih tetap dalam bingkai paradigma lama, paradigma rezim Orde Baru. Terjadi kesenjangan
besar antara perubahan pada tataran konseptual dengan perubahan pada tingkat pemahaman dan
perilaku penyelenggara pemerintahan daerah. Dominasi elite tetap ada, jauh dari cita- cita negara
demokrasi, sedangkan dominasi negara terhadap rakyat tetap eksis.
Agenda reformasi telah mendorong pemerintah membuka keran partisipasi masyarakat agar tidak
dicap "'tidak reformis". Namun, yang siap baru pada tataran elite masyarakat. Belum pada tataran
civil society. Maka, yang terjadi adalah interaksi antara elite penguasa dan elite masyarakat.
Proses politik lebih merupakan persekongkolan antarmereka. Dalam kondisi seperti inilah format
desentralisasi dan otonomi daerah muncul. Kondisi itu tercermin dalam isu etnisitas, putra asli
daerah. Isu itu lalu dijadikan alat oleh pemerintah pusat untuk melakukan resentralisasi dengan UU
No 32/2004.
Salah satu keunggulan dari UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan
pemilihan kepada daerah secara langsung, dalam pelaksanaannya masih muncul sejumlah
persoalan. Dengan pilkada langsung diharapkan akan terbentuk pemerintahan bersih (good
governance), lebih responsif (tanggap), lebih akuntabel, lebih transparan, dan sebagainya. Hal-hal
itu baru bisa tercapai jika kita sudah berada pada suasana subtantive democracy. Demokrasi tidak
hanya dalam bentuk lembaga saja, tetapi sudah sampai pada perilaku demokrasi yang ditunjukkan
oleh para pelakunya.
Ternyata, di daerah muncul pemerintah bayangan. Di sebuah provinsi di Sumatera ada kelompok
semacam pemerintah bayangan, yang disebut staf khusus gubernur. Di kelompok ini berkumpul
mantan-mantan tim sukses gubernur, tim ahli gubernur saat pilkada. Mereka ini berkuasa dan
dapat menentukan siapa harus menjabat apa dan siapa mendapat proyek apa.
Dalam konteks ini, proses pengambilan keputusan terakhir bukan semata-mata di kantor gubernur,
bukan pula di kantor DPRD. DPRD menjadi lembaga formalitas. Di sebuah daerah di Kalimantan
kekuatan informal itu berada di tubuh DPRD, dan justru di tangan merekalah keputusan penting
diambil. Jadi, sifatnya individual, bukan DPRD sebagai institusi.
Pemekaran daerah menjamur sejak 1999, dan hingga 2004 terbentuk 148 daerah otonom baru.
Akhirnya yang terjadi adalah upaya pemenuhan ambisi elite setempat ketimbang aspirasi
masyarakat. Elite daerah memikirkan pemekaran demi jabatan yang akan mereka peroleh.
Kini justru daerah pemekaran menjadi beban negara karena banyak daerah yang sulit
berkembang. Kini 16 kabupaten induk dievaluasi apakah penting dimekarkan atau tidak. Pemprov
DKI, misalnya, meminta kewenangan 30 sektor pemerintahan dan pembangunan diserahkan
kepada pemerintah daerah. Selama ini kewenangan-kewenangan itu dipegang pusat sehingga
mengganggu masuknya investasi ke Jakarta maupun daerah lain. Belum ada pembagian
kewenangan yang jelas antara pusat dan daerah. Perjalanan otonomi daerah menjadi too much
too soon (terlalu banyak dan terlalu cepat).
Pertanyaannya, mengapa hal itu terjadi?
Akar persoalannya adalah karena landasan konseptual desentralisasi dan otonomi daerah sejauh
ini lebih didasarkan pada pemahaman dari penggalan peristiwa sepotong-sepotong. Implikasinya,
reformasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah lebih didasarkan pada pendekatan
pragmatis parsialistik.
Karena itu, dalam proses pengambilan keputusan pun cenderung dengan pendekatan pragmatis
parsialistik. Nuansa politis lebih besar daripada upaya untuk membenahi konsep dan implementasi
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia.
Ke depannya, jika ingin segera melesat keluar dari krisis, kita perlu melakukan rekonstruksi konsep
dan kebijakan desentralisasi berdasarkan pemahaman atas rangkaian peristiwa, bukan penggalan
peristiwa yang mengabaikan pluralitas lokal. Perlu sebuah rancangan besar (grand design)
reformasi desentralisasi dan otonomi daerah ke depan. Siapkah mereka?


19 06 2012 14:56:04