"E-Auction" Kualitas yang Terbaik atau Harga yang Terendah?

Kabupaten Banyumas

KOMPAS, 16 Oktober 2006
Indra Gunawan Pengamat Telekomunikasi, Tinggal di Jakarta
Dalam rangka proses pengadaan barang atau jasa, banyak pihak telah melakukan proses tender
secara elektronik yang sering dikenal sebagai e-auction. Salah satu tujuannya adalah membuat
proses tender itu lebih transparan, lebih efisien, dan dapat menghasilkan harga terendah dari
proses pengadaan tersebut.
Biasanya yang dilakukan dalam suatu proses e-auction kepada peserta yang telah memenuhi
persyaratan administrasi akan masuk dalam tahap penawaran harga. Dari peserta yang telah lolos
dalam tahap administrasi dan telah memberikan penawaran harga, akan dipilih sejumlah peserta
dengan penawaran terendah, misalnya sembilan atau sepuluh peserta, bergantung pada panitia
bersangkutan yang biasanya disesuaikan dengan kapasitas peralatan e-auction yang ada.
Kelompok pemberi harga terendah akan berlomba memberikan harga paling rendah melalui
proses e-auction tersebut dalam kurun waktu tertentu, misalnya 30 menit atau bergantung pada
keputusan panitia tender. Setelah waktu yang ditentukan selesai akan didapatkan pemenang
tender yang merupakan peserta yang memberikan harga paling rendah.
Fokus pelaksanaan e-auction adalah didapatnya harga terendah. Tetapi, apakah pelaksanaan eauction
efektif untuk proses pengadaan? Apakah harga terendah menjadi tujuan proses tender?
Apa kekurangan yang harus dicermati dalam pelaksanaan tender dengan menggunakan eauction?
Beberapa pertanyaan tersebut akan kita bahas kali ini, khususnya dalam proses tender
pengadaan infrastruktur telekomunikasi nirkabel, menara untuk base transceiver station (BTS).
Pembangunan menara
Sebelumnya kita akan membahas terlebih dahulu proses pembangunan menara telekomunikasi itu
sendiri. Dalam proses pembangunan infrastruktur telekomunikasi nirkabel, dalam hal ini menara,
proses pembangunannya terbagi dalam dua kelompok besar. Yaitu, proses akuisisi lahan yang di
dalamnya termasuk proses pencarian lahan, proses perizinan, baik dengan warga maupun dengan
pemerintah daerah setempat; dan proses pembangunan menara beserta kelengkapannya.
Dalam proses akuisisi lahan, banyak hal yang sulit kita prediksi, seperti kondisi di lapangan yang
terjadi, baik mengenai harga lahan, terlebih lagi dalam proses perizinan dengan warga beserta
dengan kompensasi yang harus diberikan kepada warga sekitar.
Selain itu, kualitas petugas pemerintah daerah di Indonesia, yang masih banyak didapati petugas
yang memanfaatkan situasi. Membuat proses perizinan dengan pemerintah daerah setempat juga
merupakan variabel lain yang tidak mudah diprediksi biayanya.
Proses pembangunannya pun tidak luput dari variabel-variabel yang tidak mudah untuk ditentukan
dan diketahui dengan tepat besaran biaya yang dibutuhkan, seperti harga lahan. Begitu orang
mengetahui akan digunakan untuk menara langsung melejit harga sewanya.
Kualitas lahan yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan berbagai macam tipe fondasi yang
berbeda. Begitu pun kondisi ketersediaan listrik di Indonesia yang saat ini sedang mengalami
masa krisis, membuat biaya penyambungan daya listrik untuk kapasitas besar, seperti yang
dibutuhkan sebuah BTS, menjadi tidak normal dan di atas harga yang seharusnya.
Jika kita juga mempertimbangkan proses perawatan BTS setelah selesai dibangun, juga tidak luput
dari banyak hal yang tidak menentu. Adanya PLN di beberapa daerah yang sudah menerapkan
tarif "bersinar" dan "multiguna" membuat biaya operasional konsumsi listrik menjadi besar.
Satu daerah di Jawa Timur sudah menerapkan tarif minimal Rp 5 juta setiap bulan, dan satu
daerah di Kalimantan Timur bahkan menerapkan tarif multiguna yang besarnya minimal Rp 17 juta
per bulan.
Saat ini pencurian peralatan di BTS juga menjadi isu yang tidak dapat diabaikan. Salah satu
penyedia infrastruktur yang memiliki 90 menara di sekitar Jabotabek harus mengeluarkan
sedikitnya Rp 60 juta setiap bulan untuk perbaikan akibat terjadi pencurian Jika saat ini ada sekitar
5.000 menara BTS di Jabotabek, diperlukan dana lebih dari Rp 3 miliar untuk mengatasi pencurian
setiap bulannya.
Menilik kompleksnya masalah yang muncul dari pembangunan sebuah menara BTS seharusnya
membuat para kontraktor BTS dan operator jaringan harus berhitung dengan cermat dan harus
memasukkan semua unsur yang akan memengaruhi keberadaan BTS tersebut.
Para kontraktor yang tidak bertanggung jawab akan melakukan banyak hal yang akan merugikan
keberadaan menara BTS. Ini pada akhirnya akan memengaruhi kualitas layanan kepada para
pelanggan operator tersebut karena harus menekan anggaran serendah-rendahnya.
Banyak kontraktor memberikan berbagai janji muluk kepada warga sekitar menara dalam proses
izin dengan harapan warga akan segera memberikan persetujuan. Setelah kontraktor selesai
menyelesaikan pembangunannya, warga marah akibat janji-janji yang tidak terwujud.
"E-auction" dan BTS
Pelaksanaan e-auction dalam pembangunan BTS bertentangan dengan Egan theory, teori tentang
pemilihan kontraktor suatu proyek berdasarkan nilai dan kualitas, sementara e-auction hanya fokus
pada harga.
Menurut rekomendasi Online Bidding Response Group-Construction Industry Council—sebuah
badan yang berkedudukan di Inggris dan beranggotakan berbagai asosiasi yang berhubungan
dengan konstruksi, baik asosiasi arsitektur, teknik sipil, pengembang, maupun asosiasi-asosiasi
lain yang relevan—dalam dunia konstruksi, e-auction hanya dapat digunakan untuk proses
pengadaan barang-barang komoditas dan bukan untuk proses tender pembangunan suatu desain
dan jasa engineering atau suatu layanan jasa yang kompleks.
Dalam prosesnya, juga harus mengutamakan nilai dan kualitas produk, selain harga. Mereka juga
mengingatkan agar panitia dan peserta lelang harus mengerti dengan baik akan bahaya dari
hubungan jangka panjang yang terjadi, kinerja proyek, dan kelangsungan hidup kontraktor itu
sendiri dalam jangka panjang, bukan perusahaan yang sekarang berdiri, membangun, dan
kemudian tutup.
Panitia juga harus melakukan seleksi yang sangat ketat dengan peserta lelang, dengan
wawancara dan sebagainya, sebelum masuk ke proses e-auction. Namun, apakah hal itu dapat
dilakukan dengan jujur dan memiliki akuntabilitas yang baik di Indonesia?
Beberapa waktu lalu salah satu operator telekomunikasi di Indonesia mengadakan tender
konstruksi pembangunan BTS dan infrastruktur pendukungnya menggunakan sistem e-auction.
Mengacu kepada rekomendasi Construction Industry Council, menjadi pertanyaan buat kita:
apakah memang proyek tersebut layak dilakukan tender dengan melalui e-auction? Dan, karena
hasilnya juga jauh di bawah harga standar yang ditentukan panitia, masihkah kita bisa percaya
dengan quality dan value dari hasil pekerjaan tersebut?
Semoga semua dapat belajar dari proses yang ada, berpikir jauh ke depan dalam pembangunan
infrastruktur di Indonesia dan tidak hanya berfokus kepada keuntungan sesaat, yaitu harga paling
murah saja, tetapi tetap berfokus kepada nilai dan kualitas.


19 06 2012 14:56:06